Simpul Yang Kutunggu

Dipenghujung senja itu tak hentinya dia mendengung
berdering bising... kadang lirih... mengikuti letih senandung
Di sini ku terduduk, diantara gumam para manusia dengan keriuhan mereka
walaupun di dalam sini, Sang Kata berpayah menolak
nada yang masih terkalung

Ingatkah kau?
Saat ragamu masih muda dan wajahmu merona
Kau hanya bisa terdiam, terhantam cerita tentang kenangan orang lain
bersikeras kau menolak suara dengan menyelami si pelepah
tentang pikiran para tetua yang salah kau kira sebagai dongeng Si Penyihir dan Sang Raja

Andai kala itu
Egomu tak kau lepas dan hatimu tak kau hempas
kau masih bisa merela dengan rautmu
menjabat dengan tanganmu
menjalin damai dengan masa lalumu
dan kini tak akan kau menyendiri, bersembunyi di balik aksara

Hanya satu
simpul hangat dari sepasang telapak tak bertera
cukup dengan itu, mereka masih bisa tergelak di dunianya yang berbeda
dalam selaman masa yang pernah mereka cipta

Sadarlah Buyung

Sadarlah buyung
sedari tadi kau hanya duduk memeluk dayung hingga sore
kayuhmu hanya dalam lamunan belaka
hanya sedepa mendekatnya pada renta yang kau tolak

Jika hanya itu, mana ada semesta kan mengaminkan kapsul waktu yang kau tunggu

Sadarlah buyung
berhentilah kau mengharapkan pedati jika kerjamu melulu hanya meraut bilah bambu
kau oles dan kau poles dengan peluh hingga ujung jarimupun tergores
Tapi... di akhir senja dengan pongah kau campak dia
ketika sedikit lagi dia bisa purna dan punya nama

Sampai malampun kau tunggu, takkan ada dia
gerobak yang kan mengekor padamu walaupun tegaknya berpayah-payah

Sadarlah buyung
dia bukan pewara dalam sandiwaramu
dia juga bukan pewarta dalam kabar sajakmu

Sadarkah kau?
kau mengayuh hanya agar kau tidak jatuh saja
bukan agar nanti kau bisa sampai kepada wajah Sang Raja
tak eloklah kau begitu

Janganlah kau teguk nira, saat dahagamu memuncak
Jangan juga kau kunci pintu jika akhirnya kau dobrak

Duduklah dulu, tenanglah buyung
asih yang kau asuh akan terus menitipkan tapak terompahnya padamu
selama lentera kecil di atas meja itu tidak kau rangkut
biarkan dia.. biarlah ronanya mencapai semua sudut
temanilah dia dengan pena dan cangkirmu yang selalu kau isi setengah penuh

Dari situ.. ufuk akan selalu terlihat dari dekikmu




Perubahan yang Sama

Langit itu masih sama,
hanya saja bintang tak lagi tersuguh untukku
dalam pejamnya, aku terantuk
menunggu pertemuan tubuh dan jiwa
entah... mereka sudah terlalu lama meninggalkan satu sama lain
bahkan saat nuansa berkeras menjalin, dia hanya bisa menepi
menghalau di sisi nyala api dalam ringkuk yang ia jalani

Garis itu masih satu
dimana tanah dan angkasa tak pernah menyapa, tapi saling bertemu
tempat yang dulu kutunjuk kala bising tak lagi bisa tersanding
menyentuh pelupuk yang perlahan merajut rami
walaupun hingga sekarang, dia masih saja sibuk  menyeka ribuan tapak dari awal masa yang dia selami

Nada itu masih saja
mengalun tipis mengiringi atap tiap kali dia mulai menangis
dengan susah payah si manusia membisukan hatinya, tapi selalu saja tertembus oleh jarum
yang terikat pada benang bertinta merah, hingga dia terdiam
dan mulai larut dalam hasutan masa

Pendar itu masih nyala
mewarnai senyuman saat malamnya mulai meredup dan hatinya mulai tertutup
dia bukan cahaya terang, hanya sepotong pijar dari sebongkah arang
perciknya tenang menjadi penopang segenggam bait yang belum matang
dalam sunyi dia mengerti, hanya agar bagian dirinya jangan sampai menyentuh sang jerami

Pabrik itu masih berdiri,
mengolah ribuan asa dari ratusan kepala yang terombang ambing dalam arus
terdiam aku di tepian lampu taman yang tengah bercerita tentang wajah-wajah yang lewat dan lalu
harinya terselip ragu antara harapan dan pantulan diujung waktu
mendengar itu, terbendung isak tanpa tangis
bahwa tiap orang hanya berusaha memandang ke luar teralis


Ketika sesuatu berubah, yang lainnya menetap sama
tak bergerak, tak bertolak
menunggu tawanya kembali tergelak
menunggu dadanya kembali tersentak
dalam suatu periode dimana mereka pernah menjadi perak
bukan emas

Genggamlah prasastimu, pastikan kau menjaganya
sehingga saat waktunya tiba, kau bisa menuliskan sebenar-benarnya yang kau rasa

Sarang

Hei... itu merpati
dia bersenandung pada pagi
namun hanya bisa terdiam kala tak lagi ada mentari
mengiba... membayang terbungkus jerami
melamun... berselimut dahan tak tertembus
berlindung dari dunia yang rakus

Hei... itu padi
rapuh dia berdiri
tegar dia menanti
merunduk... menunggu bebasnya sang merpati
mengangguk... terduduk di selasar nan jauh dari serambi
hingga di akhir hari, dia tak lagi menantang duri

Hei...itu kah janji?
semu melarik terhampar sepi
seolah dia hanya menjulurkan alasan tanpa arti
atau... hanya anagram dari campuran ilusi
tak lagi padi percaya akan tampangnya yang letih
tertolak perih... menampar buih

Hei... itukah peti?
tempat pulangnya sang merpati?
atau... arah sang padi menghadapkan wajahnya ketika sunyi?
atau... hanya sisi dimana kau takkan lagi bisa menyimpan janji?

Mana yang kau pilih?
jeruji besi atau memori?

Aku hanya sepotong jiwa
arahku tak tentu menujumu
hanya pintuku yang kubuka
dengan aku yang terduduk menahan kantuk di sampingnya
di tepian dipan bambu rapuh
dimana aku sewaktu-waktu bisa tersungkur jatuh
tapi rusukku memintaku untuk berdiam

Janganlah kau ganggu mimpimu
biarlah dia bermain bersama teman sepermainannya
tergelak menjinjit diantara riuh senandung surya
melompat jatuh disamping rumah yang dulu kau didalamnya
dia itu kau

Janganlah kau ganggu mimpimu
biarkan dia menemukannya
dimana dia dulu pernah menyembunyikan hartanya yang berharga
sepucuk dahan ranum yang dinilai orang tak berguna
tapi dia pernah teduh menaungimu
sampai mimpimu menyayanginya

Sayang... kau masih lupa dimana terakhir kali kau mencurahkan hatimu sepenuhnya
hingga dia tetap tersembunyi di balik kata "tapi"

pulanglah...
dia menunggumu
di sarangmu...

Aku Mensyukuri Masa Itu

Subuh itu terasa begitu teduh..
di serambi berubin putih, jauh remang tersingsing letih

Antara alam dan nadiku, mereka tak lagi mengatur langkah

Mereka hanya indah.. di atas tanah yang lengkap
saat kita ungkap masa yang harus dibayar di bawah naungan bayangan fajar

Pagi itu terasa hangat...

memutar lesung yang tak sengaja teringat, hingga dia berlanjut singkat

Terduduk aku menepi, menepis kalut hari di sisi meja 

Memandang sayu dua mata yang terbuka menatapkku, seakan bertanya
"Kau masih mengingat hari itu?"
Seorang kawan lama yang menjadi pengingatku
tentang bagaimana bocah ini...
bahkan tak bisa membedakan antara kaktus dan melati

Siang itu terasa nikmat...

di sisi jendela yang terbuka, di lantai tiga tembok berkaca

Gemercik dahan memanja, menerka suara yang diharapkan sang telinga

terik tak tertarik, dia hanya sesekali terlihat lewat mengusik 
lembaranku terbolak balik saat mataku berkelana memilah bayu
dan diriku, hanya wadah, untuk seseorang yang mendambakan semua itu

Malam itu terasa malu...

untuk menunjukkan punggungnya padaku kala itu

Langkah kaki ini menghantarku ke atas tangga tak berukir

hingga aku terdiam dan berhenti disana
Apakah aku bisa mengusahakan sebuah takdir?
Entah... senyum itu selalu mengembang tiap kali aku tak mencarinya

Apapun yang menungguku, kau harus tau... 

aku mensyukuri masa itu

Perapian

Sekelumit kisahku tertiup halus selama tubuh yang meringkuk ini tertekuk di sudut perapian.
Aroma jati  dan lumut menyanyikan latar kilasan ribuan wajah yang datang dan pergi... dalam ratusan gemerincing banyu yang menggercik di tiap sisi ladang ilalang... dalam belasan tahun yang terlewati.... dalam belasan tahun yang aku kecewakan.... dengan kehendakku... ataupun tidak...

Tubuh ini tubuhku... tubuhku?
Jiwa ini jiwaku... jiwaku?
Hati ini.... hatiku?

Satu-satunya tanya lantang yang entah siapa membisikkannya adalah....
"Apa yang telah kau lakukan selama hidupmu?"

Lelaki itu menghisap cangkir keramik dalam temaram jingga yang terpantul dari sayu lensanya.
Ringkih dalam raganya yang kokoh.
Diam dalam pikirnya yang hingar.
Dinikmatinya selaman rindu lembaran pelepah terbolak-balik berlembar-lembar...
Ia mulai menguning, namun tintanya tak pudar sejentikpun.

Kala... doakan maafku..
Aku... mengadu