Pada
pagi yang mendung itu, seorang anak
berjalan melewati kami di selasar kantin dengan wajah polosnya, dengan jersey merah
berlambang garuda bertuliskan Evan Dimas, celana jeans lusuh , sandal japit
dan.. apakah itu memar? Pelipisnya membiru terdapat luka mengering. Dengan
nada datar ditawarkannya pada kami,
“Koran kak.” Aku hanya bisa menjawab, “Mboten
Dek.” Dan dia berlalu begitu saja.
Hanya satu yang mengusikku, siapa yang tega menyuruh anak kecil itu bekerja? Dan bagaimana dia mendapatkan luka lebam itu? Berbagai praduga tersentak di dalam pikiranku, mungkin ayahnya, keluarganya, atau mungkin preman? Baiklah.. itu lebih dari satu hal, aku akui.
Wajah
itu, mata yang terlihat letih itu, tangan dan tubuh kurus itu, sungguh
mengingatkanku pada adik laki-lakiku, Fadhil. Seorang anak sekolah dasar yang
selalu bertanya dengan rasa ingin tau, seorang anak laki-laki yang selalu
tertawa ceria, seorang anak kecil yang selalu berlari riang tiap sore saat
tiba waktu berangkat mengaji, seorang adik yang sering aku marahi hingga menangis
dan tertidur di depan Televisi.
Perasaan ibaku meluap ke permukaan, disertai rasa benci.. ya.. rasa benci terhadap diri sendiri. Adikku bisa saja berada pada posisinya, atau mungkin aku dulu, berkeliling menawarkan koran dengan mulut yang tak bisa menutup khas anak kecil dan tatapan bingung. Tapi anak itu, yang kulihat hanya tatapan kosong. Hanya takdir dan keadaan yang membuat nasib kami sedikit lebih beruntung. Tapi apa yang aku lakukan? Hanya diam.
Mataku tak bisa lepas sepanjang langkah gontainya menawarkan koran kepada para mahasiswa yang sedang sibuk dengan laptopnya masing-masing, hingga kulihat dari jauh, sebuah tangan menjulur, tangan kurus seseorang wanita mungkin, orang itu membeli korannya. Tangan mungilnya memberikan korannya tiga kali, sebanyak yang dibeli orang yang tak dapat terlihat wajahnya dari tempat kami. Dia hanya menerima uang itu dengan raut datar, entah apakah dia ingat berterima kasih atau tidak. Hanya ada tatapan bingung dari mata itu.
Soseorang menggoreskan cutter secara perlahan disini, tepat di
sisi dalam rusukku. Kuteriak tanpa suara, “Kumohon, jangan lewati kami lagi.
Aku hanya seorang pengecut.”, dan lubang itu mulai muncul.
Semakin
dekat dia dengan kami, semakin beku tanganku. Hawa mendung pagi ini
memang cukup dingin bagi kami, tapi itu masih jauh lebih hangat dibandingkan nyali yang menyala redup. Sekali lagi dia melewatiku, tepat di sisi
kananku, dan sekali lagi juga aku diam, bahkan kali ini tak berani memandangnya.
“Dek,
ada berita apa hari ini?” , Tanya seorang mahasiswa baru diantara
teman-temannya yang sedang sibuk mempersiapkan OSPEK di belakangku. Dengan raut wajah yang
sama, dia mengambil selembar koran dan menjunjukkan ke arah maba itu, tanpa sepatah katapun.
“Berapa,
Dek?”, dan aku semakin remuk , dia berkata lirih, menyerahkan koran, menerima
upahnya dan menghilang dari hadapanku. Bahkan hingga akhir aku tak tau
berapa dia menjual tumpukan kertas itu.
Beberapa
menit setelah dia pergi, baru pengecut ini punya keberanian untuk mengejarnya,
meninggalkan teman-temanku dengan berlagak menelpon, apakah kurang pengecut aku bagimu? Tapi aku tak menemukannya dimanapun. “Paling tidak aku sudah berusaha.”, kataku
dalam hati. “Itu hanya alasan yang kau buat untuk menutupi sifat pengecutmu.
Dari mana saja kau? Kau punya banyak kesempatan saat dia masih dalam
pandanganmu tadi, tapi kau malah mencari alasan saat dia sudah pergi.”
Pikiranku tidak bisa akur dan terus-menerus mengutuk diri sendiri.
…
Dan
disini aku akhirnya, dai bangku paling depan kelas biokimia, berhadapan
langsung dengan pengajar, sekaligus menjadi orang yang meninggalkan raganya
dalam kekosongan. Sungguh aku tak bisa menghilangkan lubang ini. Ya… dadaku
berlubang, hanya saja kau tak bisa melihatnya. Lubang ini tidak berisi
kekosongan, lubang ini berisi gumpalan hitam padat yang terus mendesak dari
dalam. Apa kau pernah merasakannya?
‘Bermuatan
negatif’ dan ‘Garam’, hanya kata itu yang aku ingat dari semua penjelasan
pengajarku, seorang wanita paruh baya yang terlihat jauh lebih kuat dan bijaksana
daripada aku. Candaanku kepada teman disampingku hanya kosong, tak mengurangi
pikiran ini sama sekali.
Kekalutan
ini kutuangkan lewat pena, setelah notebook dan charger milik Defitra dan Richa
yang urung kugunakan, hanya kertas bisu yang
ada.
Hingga
sampai waktunya sholat jum’at, diantara khotbah khotib, lubang ini kambuh,
berdenyut-denyut hingga kurasakan di leher dan rahangku. Mataku berkaca tak
menetes, menyesali ketidakmampuanku. Apa yang kudapat setelah dua puluh tahun
hidup jika berbuat baikpun tak berani.
...
Kawan.. entah ada gunanya atau tidak kau membaca tulisanku. Namun aku bisa janji kepadamu, jika aku bertemu dia lagi, akan kupastikan membeli korannya dan mengajaknya makan bersama. Kebaikan tak akan bermanfaat jika hanya disimpan, kebaikan akan membuat orang lain bahagia jika kita dapat membaginya dengan sesama.
Adekku, Fadhil
30 Agustus 2014 pukul 21.42
Kecewa itu biasa dan manusiawi, yang luar biasa, siapa saja yang mampu beristighfar dan lalu berlapang dada serta tawakal
Buanglah hawa nafsu dalam mengarungi perjalanan, karena telah banyak kebaikan yang berguguran karenanya.
Gandenglah selalu iman kemana saja kita melangkah, karena iman akan menjagamu setiap waktu.